Oleh-oleh Dari Bandara Changi

Ah...nyaman sekali rasanya bisa berbaring, meski bukan di kasur yang empuk seperti di rumah atau hotel tempatku menginap kemarin. Namun, karpet Bandara Changi kali ini terasa seperti kasur untukku. Aku belum mengantuk apalagi ini baru jam 9 waktu Singapura. Hanya saja perjalanan seharian mengelilingi Chinatown untuk berbelanja oleh-oleh memang membuat energiku terkuras. Rasanya lelah sekali. Sudah lelah ditambah lagi harus menunggu pesawat yang sedang delay. Hah, lengkap sudah penderitaan. Untung saja aku dan Fin, teman kuliah yang menemani perjalananku ke Singapura kali ini, menemukan tempat yang nyaman untuk bisa beristirahat.

Sementara aku tidur-tiduran dengan posisi yang santai, Fin terlihat asyik membaca buku yang dibelinya saat kami tadi kami ke obral buku di Chinatown. Aku masih ingat ekspresi wajah gembiranya di Chinatown. Matanya berbinar-binar saat menemukan buku itu di tumpukan buku bekas. Buku itu memang sudah lama ia cari. Dia berbisik padaku
“Wah gila hemat 50.000 looh!” Aku hanya tertawa saja melihat tingkahnya yang kegirangan.

Tidak salah kami berbelanja di Chinatown. Semuanya memang lebih murah. Untuk gantungan kunci bahkan ditawarkan dengan harga SGD 10 untuk 12 buah. Tapi kami kesana hanya untuk belanja oleh-oleh. Meskipun kulinernya sangat menggoda tapi teman kami yang sudah ke sana sebelumnya mengingatkan untuk tidak membeli apa pun di restoran yang ada di sana sebab mayoritas menggunakan minyak babi dalam proses pembuatannya.


Ini memang baru pertama kalinya aku ke Singapura. Fin pun begitu. Kami melancong ke Singapura selama tiga hari. Daritadi Fin terus berkata “Ayo rekam di otak lo yang bagus ya! Apalagi bandara Changinya! Kan bentar lagi kita sampe di Soeta nih pasti jomplang deh hahaha.”

Ah, Fin memang sedikit jahat. Tapi memang ada benarnya juga. Bukannya mau menjelek-jelekkan Bandara Soekarno Hatta. Apa mau dikata. Bandara Changi memang nyatanya jauh lebih bagus daripada Bandara Soekarno Hatta. Mulai dari kebersihan, fasilitas, pelayanan, desain, sampai transportasi. Semua lengkap disini. Tidak heran kalau bandara ini dinobatkan sebagai bandara nomor satu terbaik di dunia.

Meskipun begitu, bukan berarti bandara ini tanpa cacat. Catatan buruk yang sering terdengar dari kinerja Bandara Changi adalah terkait pemeriksaan imigrasi. Ketika jam kedatangan pesawat, bisa dipastikan antrean akan panjang dan harus bersabar menunggu bahkan dalam hitungan jam. Bahkan beberapa kasus, penumpang yang kebetulan memiliki nama “muslim” atau bahasa Arab silahkan bersiap untuk tertahan di keimigrasian Bandara. Untungnya aku dan Fin tidak mengalami hal tersebut. Kami lancar-lancar saja saat melalui petugas imigrasi.

Sambil tidur-tiduran aku tak henti-hentinya mengedarkan pandanganku ke depan. Benar kata Fin. Aku harus merekam pemandangan bandara terbaik nomor satu di dunia ini karena beberapa jam lagi aku akan tiba di Indonesia disambut dengan puluhan sopir taksi tembak tanpa argo, atau pegawai tukang angkut yang terkadang lebih sering memaksa ketimbang menawarkan jasanya secara suka rela. Benar-benar potret riil kondisi perekonomian negeri ini, sehingga masyarakat harus mencari rejeki dengan berbagai cara termasuk sedikit memaksa kepada calon penumpang.

“Hmm...kapan ya Fin kita bisa niru Bandara Changi?”gumamku kepada Fin yang masih asyik membaca buku.

Fin menjawab santai sambil masih membaca buku. “Mau tau kenapa orang Indonesia ga bisa maju? Itu semua karena kita selalu mengharapkan akan ada perubahan yang besar suatu hari nanti. Bangsa kita akan maju, bangsa kita akan kaya, bangsa kita akan bla bla bla. Tapi ga ada tindakan nyata biar bangsa kita ini maju. Mulailah dari diri sendiri. Ubahlah jadi orang baik. Ga usah mikirin negara dulu deh. Kalo semua pribadinya udah baik, otomatis negara pun jadi akan lebih baik kok.”

Aku tersenyum. Obrolan kami terus berlanjut di ruangan tunggu pesawat. Fin benar. Untuk memulai perubahan besar, memang harus dari hal kecil.

Ditulis untuk UTS Jurnalisme Foto, 22 Oktober 2010

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.