Ideologi J.K. Rowling Dalam Dunia Sihir Harry Potter



MEDIA tidak lahir dalam kekosongan budaya (Teeuw, 1981). Dan seperti bentuk media lain, buku adalah teks yang tidak dapat dilepaskan sama sekali dari teks lain. Teks dalam pengertian umum adalah dunia semesta ini, bukan hanya teks tertulis atau teks lisan. Adat istiadat, kebudayaan, film, drama, secara pengertian umum adalah teks.
Demikian pula Rowling dan hasil karyanya, buku Harry Potter. Di dalam buku Harry Potter yang penuh dengan fantasi dan imajinasi ini terdapat berbagai respons Rowling terhadap berbagai teks yang dia hadapi di dunia nyata. Seperti hasil karya sastra anak lain, buku ini pun tidak lepas dari ideologi penulisnya, sesuai dengan teori yang dinyatakan oleh Hunt (1990), Knowles dan Malmkjær (1996), juga Reynolds (1994). Dari hasil analisis Sara Mills yang digunakan peneliti, ditemukan bahwa pemilihan subjek teks, penggambaran objek teks, dan pemosisian pembaca dalam buku Harry Potter menunjukkan ideologi.
Seperti yang terjadi pada sebagian besar buku anak, subjek teks dalam buku Harry Potter adalah sang pemeran utama, yaitu Harry Potter. Dengan demikian karakter Harry Potter di sini memiliki kekuasaan sebagai penafsir, sedangkan karakter lain sebagai objek teks atau menjadi pihak yang ditafsirkan. Dengan melihat teks dalam buku Harry Potter sebagai respons dari keadaan di dalam masyarakat Inggris, tempat Rowling dilahirkan dan dibesarkan, ditemukan bahwa karakter-karakter dalam buku ini pun memiliki pembagian kelas sosial tertentu. Ketika Harry Potter digambarkan sebagai anggota kelas bawah, maka penafsirannya pun dilakukan dari sudut pandang anggota kelas ini.
Representasi anggota kelas lain pada objek teks antara lain keluarga Dursley: kelas menengah atas; keluarga Weasley: kelas menengah bawah; keluarga Malfoy: kelas atas; dan Hagrid: kelas pekerja. Dengan melihat tanggapan masing-masing anggota kelas terhadap berbagai gagasan yang dilontarkan Rowling dalam buku Harry Potter—kelas sosial, ras dan etnis, juga pendidikan dan keluarga, pembaca dapat sekaligus melihat bagaimana penggambaran sifat dari masing-masing karakter.
Menanggapi perbedaan kelas, anggota kelas menengah ke bawah (Harry Potter, keluarga Weasley, dan Hagrid) digambarkan sangat fleksibel, mereka cenderung tidak mengindahkan perbedaan ini dalam membangun hubungan sosial. Sebaliknya, anggota kelas yang lebih tinggi (keluarga Dursley, Malfoy) diceritakan sebagai tak mau tahu dan antipati atau merendahkan karakter dari kelas sosial yang lebih rendah. Baru setelah menerima prilaku negatif inilah anggota kelas yang lebih rendah bereaksi dengan membalas perasaan tidak suka itu.
Rowling pun mengangkat masalah perbudakan dan rasisme dalam konflik antara peri rumah dengan penguasanya, juga adanya pandangan merendahkan yang diterima penyihir keturunan Muggle dari kalangan penyihir tertentu.
Menanggapi peristiwa perbudakan Dobby si Peri-Rumah, Harry Potter diceritakan bersimpati dan bahkan diakhir cerita dia yang membantu membebaskan Dobby dari majikannya, keluarga Malfoy. Keluarga penyihir kaya ini digambarkan sebagai majikan yang kejam dan tak segan-segan menghukum cambuk budaknya.
Kembali keluarga Malfoy dijadikan pihak yang jahat ketika mereka menunjukkan rasisme pada penyihir keturunan Muggle. Bahkan dalam suatu contoh Lucius menyatakan kebenciannya pada Arthur Weasley yang dianggapnya pecinta Muggle. Sikap keluarga Malfoy ini dianggap keterlaluan oleh para penyihir lain walaupun sama-sama berdarah murni, Ron Weasley mewakili pendapat mereka yang menganggap bahwa permasalahan darah murni atau campuran bukanlah hal penting lagi. Walau demikian isu ini rupanya adalah masalah yang berat di dunia sihir.
Masalah ras—dianggap demikian karena menyangkut perbedaan perlakuan pada sekelompok orang dengan ciri fisik tertentu—ini sudah ada sejak 1000 tahun yang lalu dan bahkan masih tetap ada di masa kini. Kemurnian darah penyihir ini bahkan diceritakan sebagai penyulut perpisahan antara dua penyihir kuat pendiri Sekolah Sihir Hogwarts, Gryffindor dan Slytherin. Kenyataan bahwa masalah ini memang berat kembali ditegaskan ketika Rowling menjadikan masalah ini sebagai satu tema khusus yang dituangkan dalam buku Harry Potter seri ke-2: Harry Potter dan Kamar Rahasia.
Masalah rasisme ini bersinggungan dengan gagasan pendidikan yang diharapkan Rowling. Dengan Sekolah Sihir Hogwarts yang tidak membedakan murid dari status sosial dan kekayaan, tampak keinginan Rowling akan pendidikan yang setara bagi semua orang. Dalam cita-cita ini pun keluarga Malfoy dimunculkan sebagai tokoh jahat yang tidak menyetujui adanya hak pendidikan para penyihir dari keluarga Muggle.
Keluarga Dursley memang tidak muncul dalam berbagai perdebatan yang terjadi di dunia sihir, tapi Rowling menciptakan peran tersendiri untuk mereka. Dikisahkan sebagai keluarga yang berpikiran sempit dan hanya peduli pada diri sendiri, Rowling menjadikan keluarga Dursley sebuah kritik pada pandangan konservatif tentang bagaimana seharusnya bentuk sebuah keluarga bahagia itu. Pemunculan keluarga “tipikal” masyarakat modern tapi berpikiran konservatif ini sering kali dijadikan lelucon, terutama dengan tingkah laku anggota keluarganya.
Bila dirangkum dari keseluruhan cerita, dapat ditafsirkan bahwa Rowling adalah anggota kelas bawah yang lahir sebagai generasi modern dengan cita-cita masyarakat tanpa keterbatasan kelas (a classless society). Penggambaran negatifnya terhadap kelas yang lebih tinggi, seakan menunjukkan kritikannya pada kaum aristokrat dan konservatif yang merasa berkuasa di masyarakat tempat dia hidup. Kedua jenis kaum inilah yang dimunculkan sebagai penentang cita-cita penciptaan masyarakat yang tidak berdasar pada perbedaan kelas dan pemisahannya.
***
Sejak awal sejarah perjalanannya, sastra anak tidak pernah lepas dari pengaruh si pencipta. Di Inggris, sastra anak telah menjadi media untuk propaganda supermasi kerajaan, rasa kebangsaan Inggris, atau pengkritik keadaan masyarakat yang memarjinalkan kelas pekerja dan terpuruknya sekolah negeri. Karakter utama dari sastra anak pun mengalami pergeseran dari yang biasanya anggota kelompok bangsawan/aristokrat menjadi anggota kelas yang lebih rendah, yaitu kelas pekerja dan menengah. Mengikuti jejak pendahulunya, Rowling menggunakan ramuan lama dari tradisi fiksi anak, khususnya tradisi fiksi fantasi, untuk mengolah realita yang ditemuinya di masa kini.
Sesuai dengan pendapat Humphrey Carpenter (1985), Rowling menggunakan fiksi fantasi—yang salah satu elemennya adalah representasi—untuk menuangkan observasi mendalamnya terhadap karakter manusia dan masyarakat masa kini. Representasi yang dilakukan Rowling adalah dengan menggunakan karakter-karakter dalam bukunya untuk mewakili penilaian/pandangannya baik tentang karakter manusia maupun berbagai gagasan/nilai dalam masyarakatnya.
Sastra adalah lembaga sosial yang menyuarakan pandangan dunia pengarangnya. Sebuah media bagi penciptanya. Pandangan dunia ini bukan semata-mata fakta empiris yang bersifat langsung, tapi merupakan suatu gagasan, aspirasi, dan perasaan yang dapat mempersatukan kelompok sosial masyarakat. Eksistensi sastra yang sarat dengan nilai sosial itu menjadikan ia tidak bersifat pasif tapi selalu terbuka pada berbagai pendekatan sosiologis.
Oleh karena itulah, melihat keadaan sosiologis masyarakat Inggris menjadi sangat membantu dalam melakukan analisis interpretatif terhadap teks buku Harry Potter. Berbagai keadaan sosiologis negara ini, seperti kelas sosial, ras/etnis, pendidikan dan keluarga ditemukan banyak mengilhami Rowling dalam penciptaan karakter maupun alur cerita. Buku Harry Potter bukan hanya bisa dilihat sebagai karya sastra, tapi juga media, dan wacana, tempat Rowling menyampaikan responsnya terhadap realita, juga alatnya bergabung dalam pertarungan kekuasaan.
***
Dalam hal pertarungan kekuasaan dalam wacana, Rowling menggunakan karyanya untuk menentang kekuasaan dominan dan justru mengangkat kelas bawah yang biasanya dimarjinalkan dalam teks lain, berita di koran misalnya. Sesuai dengan pandangan Pecheux, bahasa dalam buku Harry Potter adalah juga medan pertarungan melalui mana sang pengarang berusaha menanamkan keyakinan dan pemahamannya. Buku Harry Potter sebagai wacana dianggap sebagai tindakan untuk berinteraksi dan berhubungan dengan orang lain. Karena hal ini juga, analisis terhadap teks buku Harry Potter hanya bisa dilakukan dengan menghubungkannya pada konteks sosial dan historis tertentu.
Bila mengingat kembali konsep wacana menurut Foucault dan ideologi menurut Althusser, berarti media yang berbentuk sastra anak merupakan “senjata” paling kuat dalam pertarungan kekuasaan. Menurut Foucault, melalui wacana individu bukan hanya didefinisikan tetapi juga dibentuk, dikontrol dan disiplinkan. Maka dengan melihat sastra anak sebagai wacana, berarti selama beratus-ratus tahun, sastra anak bukan hanya sebagai teman bermain anak-anak—seperti anggapan para orangtua. Melalui buku anak, telah terekspos pula anak-anak terhadap berbagai kekuatan (ideologi, pandangan, penilaian, dan sebagainya) yang diajukan para penulis dalam buku-buku mereka.
Sedangkan menurut Althusser, wacana berperan dalam mendefinisikan individu dan memposisikan seseorang dalam posisi tertentu. Berarti dalam sastra anak yang tak bisa terlepas dari ideologi penulisnya, si penulis tersebut mendorong anak (atau pembaca) mengambil posisi dengan karakteristik tertentu, yang biasanya adalah atau sepihak dengan tokoh utama. Dalam kasus buku Harry Potter, pengambilan sudut pandang tokoh utama yang anggota kelas bawah, menengah ke bawah lebih tepatnya, berarti pelestarian dan pengiriman nilai-nilai kelas ini pada pembaca (baik dari kelas sosial yang sama maupun kelas lain).
***
Walau Rowling memegang prinsip yang sama dengan Louis Jordan dalam menulis buku anak—menulis karena ingin menulis demi diri sendiri, tidak bisa diindahkan bahwa setiap teks media massa diciptakan untuk menyapa khalayaknya. Media juga berisi interpelasi yang meletakkan khalayak dalam posisi sosial tertentu atau hubungan sosial tertentu sesuai posisi tersebut. Ketika Rowling memilih karakter Harry Potter sebagai pencerita, maka pembaca pun akan meletakkan posisi dirinya di pihak Harry.
Pada saat inilah, buku sebagai media massa menjalankan fungsi “perantara”-nya, yaitu sebagai pembawa informasi dan bahkan cermin bagi masyarakat walau dengan level distorsi tertentu. Distorsi ini terjadi karena wacana media tidak netral, keberadaannya akan sangat dipengaruhi sang penciptanya. Bila buku Harry Potter dilihat sebagai wacana maka buku anak ini dilihat sebagai sesuatu yang bertujuan—untuk bereaksi terhadap keadaan masyarakat yang ditekan oleh kekuasaan kelas atas dan para konservatif.
***
Sesuai dengan pendapat Dennis McQuail, dengan melihat isi buku Harry Potter, kita dapat merasakan/menghubungkannya dengan kondisi masyarakat dan kebudayaan yang berlaku di Inggris. Lalu sejalan dengan Charles Wright, dari karya fiksi ini terdapat aspek-aspek sosiologis yang kaya, yang terlalu berharga untuk disia-siakan. Dengan menganalisis buku ini pun, kita dapat mengetahui target khalayak Rowling.
Seperti teori yang diungkapkan McQuail dan Wright, perspektif strukturalisme genetik juga menyatakan bahwa latar belakang sejarah, zaman dan sosial masyarakat berpengaruh terhadap proses penciptaan suatu teks. Keberadaan pengarang dalam masyarakat tertentu, turut mempengaruhi karyanya. Dengan demikian, suatu masyarakat tertentu yang menghidupi pengarang dengan sendirinya akan melahirkan suatu jenis sastra tertentu pula. Kecenderungan ini didasarkan atas adanya suatu asumsi bahwa tata kemasyarakatan bersifat normatif. Artinya mengandung unsur-unsur pengatur yang mau tidak mau harus dipatuhi. Pandangan, nilai-nilai, dan sikap tentu saja dipengaruhi oleh tata kemasyarakatan yang berlaku.
Hal ini merupakan faktor yang turut menentukan apa yang harus ditulis pengarang, untuk siapa karya sastra itu ditulis, dan apa tujuan serta maksud penulisan itu. Seperti karya sastra yang lain, buku Harry Potter memiliki tokoh problematik (problematic hero) atau wira yang bermasalah yang berhadapan dengan kondisi sosial yang memburuk (degraded) dan berusaha mendapatkan nilai yang sahih (authentic value). Pandangan dunia J.K. Rowling pun terungkap melalui problematic hero-nya, yaitu Harry Potter.
***
Walau Rowling menyatakan dia tak pernah benar-benar memikirkan target pembaca bukunya, kepopuleran buku Harry Potter baik di kalangan anak maupun orang dewasa mungkin berhubungan erat dengan hal ini. Pemosisian pembaca dominan yang kelas menengah, bisa jadi adalah sasaran jitu, mengingat perkembangan pesat kelas sosial ini yang mendukung dualisme pembaca. Terlebih lagi, buku ini secara keseluruhan juga berisi kritikan terhadap sistem aristokrat dan konservatif. Sesuatu yang menjadi inti dari revolusi budaya yang sedang terjadi ketika buku pertama Harry Potter diterbitkan (1997) dan masih berlanjut hingga sekarang di negeri ini.
Seperti yang dikatakan Knowles dan Malmkjær, teks dalam buku anak merefleksikan harapan penulis seperti yang diinginkannya, seperti yang dilihatnya, dan seperti secara tak sadar diungkapkannya. Buku Harry Potter adalah hasil dari perasaan Rowling yang pernah mengalami sulitnya hidup dalam masyarakat yang didominasi kekuasaan kelas atas. Lalu buku ini digemari oleh begitu banyak orang karena ternyata Rowling tidak sendirian, banyak orang yang merasakan hal yang sama. Kisah tentang perjuangan anggota kelas bawah yang biasanya selalu tertindas dalam kehidupan nyata ini dapat berhubungan dengan banyak orang.
Di realita, anggota kelas bawah bertemu dengan berbagai ketidakadilan dan kecurangan para pemilik kekuasaan dominan, tapi di dalam buku Harry Potter, mereka adalah pahlawan dan pemilik kekuasaan di mana keuntungan selalu ada di pihak mereka. Di dalam buku ini juga, anggota kelas atas yang selalu menindas mereka diceritakan sebagai pihak yang terpojokan, kalah, sial, yang harus membayar setiap kejahatan dan kecurangan. Tapi, tentu saja jawaban atas penyebab kepopuleran buku ini akan membutuhkan penelitian lain.
Oleh Indah
KESIMPULAN DAN IMPLIKASI TEORITIS SKRIPSI
“ANALISIS WACANA PADA SASTRA ANAK:
IDEOLOGI J.K. ROWLING DALAM DUNIA SIHIR HARRY POTTER”

Sumber: http://www.visikata.com/ideologi-jk-rowling-dalam-dunia-sihir-harry-potter/

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.